I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cabai merupakan sayuran penting di Indonesia dengan luas lahan mencapai 10,96% dibandingkan dengan total luas lahan sayuran lainnya pada tahun 2005 (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006). Peningkatan cabai belum diimbangi dengan produktivitas cabai. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006), pada tahun 2005 produktivitas cabai sebesar 6.39 ton/ha. Produktivitas cabai Indonesia masih jauh dari potensi produksi yang mencapai 18 ton/ha (Kusandriani, 1996). Rendahnya produktivitas cabai disebabkan serangan hama dan patogen, kurang tersedianya benih berkualitas, teknologi budidaya, dan pasca panen.
Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan suatu komoditas sayuran yang tidak dapat ditinggalkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Cabai pada dasarnya terdiri atas 2 golongan utama, yaitu cabai besar dan cabai rawit. Berdasarkan asal-usulnya, cabai berasal dari Peru (Setiadi, 2006). Selain berguna sebagai penyedap masakan, cabai juga mengandung zat yang sangat diperlukan untuk kesehatan manusia. Cabai mengandung protein, lemak, karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin, dan mengandung senyawa alkaloid, seperti capsaicin, flavonoid, dan minyak esensial. Rasa pedas pada cabai ditimbulkan oleh zat capsaicin. Capsaicin terdapat pada biji cabai dan pada plasenta, yaitu kulit cabai bagian dalam yang berwarna putih tempat melekatnya biji (Prajnanta, 2004).
Pembangunan sektor pertanian kini disiapkan untuk memasuki era agroindustri dan agribisnis terpadu, oleh karena itu pengembangan sumberdaya manusia harus mendapat perhatian dan penekanan yang cukup kuat, sebagai landasan pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Salah satu kegiatan riil yang perlu dilaksanakan adalah bagaimana cara pengamanan produksi pertanian dari gangguan organisme penyebab penyakit tanaman (OPT) (Reintjes et al. 1999).
Salah satu penyakit penting pada cabai ialah layu bakteri. Penyakit tersebut disebabkan oleh Ralstonia solanacearum yang dahulu dikenal dengan Pseudomonas solanacearum (Yabuuchi et al., 1995). Penyakit layu bakteri cukup berbahaya, karena pada tingkat serangan berat dapat menyebabkan kematian tanaman dan kegagalan panen (Semangun 1994). Penyakit layu bakteri sulit dikendalikan karena R. solanacearum memiliki kisaran inang yang luas, patogen soil-borne, dan dapat menimbulkan infeksi laten (Abdullah dan Rahman, 1998). Upaya pengendalian penyakit layu bakteri dengan rotasi tanaman dan tumpangsari hanya mengurangi keparahan penyakit (Hartman dan Elphinstone, 1994). Pengendalian dengan bakterisida secara terus menerus akan me-nimbulkan dampak yang tidak diinginkan seperti matinya musuh-musuh alami dan timbulnya resistensi pada patogen.
Upaya pengendalian yang telah diterapkan selama ini belum memberikan hasil yang efektif. Ralstonia solanacearum sulit dikendalikan, karena pathogen ini bersifat tular tanah dan polifag, mempunyai kisaran inang yang sangat luas meliputi lebih dari 140 spesies tanaman yang tergolong dalam lebih dari 40 famili. Hal ini terutama disebabkan oleh variabilitas genetik luas dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan setempat, sehingga di alam di jumpai berbagai strain R. solanacearum yang cirinya sangat beragam, seperti patogenesitas, virulensi, reaksi fisiologi, biokimia, reaksi serologi, dan kepekaannya terhadap bakteriofag (Machmud et al., 2002).
Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan pestisida sintetis secara berlebihan terutama untuk penyakit yang sulit dikendalikan. Hal ini dilakukan petani antara lain karena modal yang ditanam dalam usaha tani cukup besar sehingga petani tidak mau menanggung resiko kegagalan usaha taninya. Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis, oleh karena itu perhatian pada alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan semakin besar untuk menurunkan penggunaan pestisida dan pupuk sintetis.
Bacillus sp. merupakan bakteri yang berperan sebagai agensia pengendali hayati yang mampu menekan berbagai jenis patogen (Agrios, 1996). Menurut Darsam (1991), Bacillus sp. sebagai bakteri antagonis memiliki sifat-sifat mudah di dapat, tahan terhadap suhu tinggi, dan beberapa strain mampu menghasilkan antibiotik yang dapat menekan perkembangan patogen tanaman, sehingga dengan adanya pemanfaatan Bacillus sp. diharapkan dapat mengurangi penggunaan pestisida sintetis.
Mikoriza digunakan sebagai pupuk hayati karena mempunyai kemampuan meningkatkan toleransi tanaman terhadap stress lingkungan, memfasilitasi penyediaan berbagai unsur hara bagi tanaman terutama unsur P serta memproduksi hormon auksin, giberelin dan sitokonin (Mosse,1981; Fakuara, 1988; Setiadi 1990). Mikoriza mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman karena meningkatkan serapan hara, mengurangi gangguan patogen atau menghambat perkembangan patogen. Mikoriza juga efektif meningkatkan penyerapan hara mikro yaitu unsur N, K, Ca, Mg dan beberapa unsur mikro antara lain Mn, Zn dan Cu (Daehna,1982), sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk sintetis seperti N, P, dan K.
Mikoriza merupakan interaksi simbiotik mutualisme antara cendawan dan akar tanaman. Dalam interaksi simbiotik antara cendawan dan akar tanaman, cendawan mendapatkan fotosintat dari tanaman dan tanaman mendapatkan nutrien yang dihasilkan dari aktivitas cendawan tersebut untuk pertumbuhannya sehingga dapat mengurangi pemakaian pupuk sintetis (Gunawan,1993).
B. Tujuan
1. Mendapatkan kombinasi dosis optimum dari formula Bacillus sp. B46-mikoriza serta pupuk N, P, dan K untuk menekan penyakit layu bakteri pada tanaman cabai merah.
2. Mendapatkan kombinasi dosis optimum dari formula Bacillus sp. B46-mikoriza serta pupuk N, P, dan K terhadap perkembangan penyakit layu bakteri pada tanaman cabai merah.
3. Mengkaji pengurangan dosis pupuk N, P, K dari pemberian formula Bacillus sp. B46-mikoriza.
C. Manfaat
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang pemanfaatan formula Bacillus sp. B46-mikoriza, pupuk N, P, dan K untuk menekan penyakit layu dalam budidaya tanaman cabai merah. Penelitian ini diharapkan pula dapat menambah informasi dan sebagai dasar ilmiah bagi kegiatan penelitian selanjutnya.
II. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Pemikiran
Ralstonia solanacearum merupakan bakteri patogen tular tanah yang menjadi faktor pembatas utama dalam produksi berbagai jenis tanaman di dunia. Bakteri ini tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Spesies ini juga memiliki kisaran inang luas dan dapat menginfeksi ratusan spesies pada banyak famili tanaman (Olson, 2005).
Ralstonia solanacearum adalah spesies yang yang sangat kompleks. Hal ini disebabkan oleh variabilitas genetiknya yang luas dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan setempat, sehingga di alam dijumpai beberapa strain R. solanacearum yang cirinya sangat beragam, seperti patogenesitas, virulensi, reaksi fisiologi, biokimia, reaksi serologi, dan kepekaannya terhadap bakteriofag (Machmud et al., 2002).
Ditinjau dari segi morfologinya, R. solanacearum merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang dengan ukuran 0,5-0,7 x 1,5-2,5 µm, berflagela, bersifat aerobiotik, tidak berkapsula, serta membentuk koloni berlendir berwarna putih. Adanya lendir inilah yang membedakan penyakit layu bakteri denga layu fusarium (Agrios, 2005).
Tanaman yang terserang R. solanacearum akan mengalami kelayuan pada daun, yang diawali dari daun-daun muda. Hal ini disebabkan bakteri yang menyerang jaringan xylem sehingga mengganggu sistem transportasi air dan unsur hara ke seluruh bagian tanaman. Bakteri ini menginfeksi akar tanaman melalui luka yang terjadi secara tidak langsung pada waktu proses pemindahan tanaman maupun luka akibat tusukan nematoda akar, dan secara langsung masuk ke dalam bulu akar/akar yang sangat muda dengan melarut dinding sel (Purwanti dan Khairunisa, 2007).
Salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan adalah dengan menggunakan agens hayati dalam formula Bacillus sp. B46 - mikoriza, karena tidak merusak dan mencemari lingkungan. Pengendalian dengan agens hayati Bacillus sp. B46 - mikoriza juga dapat menekan biaya pengendalian, terutama penggunaan pestisida sintetis dapat ditekan, selain itu mikoriza juga berfungsi sebagai pupuk hayati yang dapat menekan penggunaan pupuk sintetis dan dapat meningkatkan hasil tanaman.
B. Hipotesis
Diduga terdapat kombinasi dosis optimum formula Bacillus sp. B46-mikoriza, pupuk N, P, dan K untuk menekan penyakit layu bakteri pada tanaman cabai merah terhadap penekanan penyakit layu bakteri dan pertumbuhan pada tanaman cabai merah serta pengurangan pupuk sintetis.
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian akan dilaksanakan selama empat bulan sejak bulan Juni sampai Oktober 2010, dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman dan lahan Desa Sumampir Kecamatan Purwokerto Utara, Banyumas.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih cabai merah varietas Laris, formula Bacillus sp. B46-mikoriza (Rokhminarsi et al 2009), MTO, CaCO3 (kapur), cmc, manitol, air steril, kaolin, tanah andosol. Alat yang digunakan adalah tabung reaksi, pipet, gelas ukur, saringan tanah, timbangan, kompor gas, kamera, alat tulis, korek, dan autoklaf.
C. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian menggunakan central composit second order design (CCSOD). Menurut Myers (1971), dengan rancangan CCSOD tidak semua kombinasi perlakuan dari 2 faktor dicoba, tetapi dipilih dengan pedoman koordinat titik sudut dan kombinasi dari titik pusat. Titik pusat diulang 5 kali sehingga diperoleh 13 kombinasi perlakuan.
Perlakuan yang dicoba yaitu:
1. Formula Bacillus sp. B46-mikoriza terdiri atas 5 taraf, yaitu: 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%. Taraf 50% = 5 gram formula Bacillus sp. B46-mikoriza (merupakan dosis rekomendasi).
2. Pengurangan pupuk N, P, dan K terdiri atas 5 taraf, yaitu: 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%. Taraf 100% = sesuai dengan dosis rekomendasi pupuk N, P, dan K. Pupuk N, P, K yang digunakan adalah ZA, SP 18, dan KCL.
Fraksinasi dari 5x5 perlakuan (faktorial ordo 1) berdasarkan rancangan central composit second order design menjadi 13 kombinasi perlakuan sebagai berikut:
Tabel 2. Kombinasi dosis perlakuan yang dicoba adalah:
Nomor Pot | Kode perlakuan | Formula Bacillus sp. B46-mikoriza | Pengurangan pupuk N, P, dan K dari dosis rekomendasi (P) | ||||
Taraf (%) | Berat (gram) | Taraf (%) | Berat (gram) | ||||
ZA | SP-36 | KCL | |||||
1 | M2P4 | 50 | 5 | 0 | 0 | 0 | 2,25 |
2 | M3P3 | 75 | 7,5 | 25 | 2,25 | 1,5 | 1,69 |
3 | M4P2 | 100 | 10 | 50 | 4,5 | 3 | 1,13 |
4 | M3P1 | 75 | 7,5 | 75 | 6,75 | 4,5 | 1,69 |
5 | M2P0 | 50 | 5 | 100 | 100 | 6 | 2,25 |
6 | M1P1 | 25 | 2,5 | 75 | 6,75 | 4,5 | 1,69 |
7 | M0P2 | 0 | 0 | 50 | 4,5 | 3 | 1,13 |
8 | M1P3 | 25 | 2,5 | 25 | 2,25 | 1,5 | 1,69 |
9 | M2P2 | 50 | 5 | 50 | 4,5 | 3 | 1,13 |
10 | M2P2 | 50 | 5 | 50 | 4,5 | 3 | 1,13 |
11 | M2P2 | 50 | 5 | 50 | 4,5 | 3 | 1,13 |
12 | M2P2 | 50 | 5 | 50 | 4,5 | 3 | 1,13 |
13 | M2P4 | 50 | 5 | 100 | 0 | 0 | 0 |
Keterangan:
M : Formula Bacillus sp. B46-mikoriza
P : Pupuk N, P, dan K
D. Variabel dan Pengukuran
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:
1. Masa Inkubasi
2. Intensitas Penyakit
3. Laju Infeksi
4. Populasi Bakteri Total
5. Data Pertumbuhan Tanaman
1. Komponen patogen
a. Masa inkubasi
Masa inkubasi adalah interval waktu antara inokulasi dengan munculnya gejala penyakit. Pengamatan masa inkubasi dilakukan saat inokulasi patogen Ralstonia solanacearum sampai munculnya gejala penyakit pertama kali pada tanaman cabai merah.
b. Intensitas penyakit
Intensitas penyakit layu bakteri dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Arwiyanto dan Hartana (2001), yaitu:
P = n/N x 100%
Keterangan:
P : intensitas serangan (%) atau persentase.
n : banyaknya tanaman/bagian tanaman atau tunas yang rusak.
N : banyaknya tanaman atau tunas yang diamati.
c. Laju Infeksi
E. Analisis Data
Data hasil pengamatan dianalisis dengan regresi multivariate dalam bentuk order dua dengan model sebagai berikut:
Yi = β0X0 + β1X1 + β 2X2 + β 11X12 + β22X22 + β12X1X2 + Єij
Keterangan:
βi = koefisien regresi
X1 = faktor variasi dosis formula Bacillus sp. B46-mikoriza
X2 = faktor pengurangan dosis pupuk N, P, K
Єij = faktor ketidakpastian (kesalahan yang bersifat kebetulan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar